Senin, 02 Februari 2015

Sekilas, KH. Muhammad Hasyim Asy`ari, Pendiri NU.

KH. M. Hasyim Asy'ari
Tokoh di balik berdirinya Nahdatul Ulama (NU), yaitu KH. M. Hasyim Asy`ari, beliau adalah pendiri NU. Beliau dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 10 April 1875 M, bertepatan dengan 24 Dzul Qaidah 1287 H. Ayahnya bernama Kiai Asy`ari, pemimpin pesantren di sebalah selatan Jombang, dan Ibunya bernama Halimah. 

Sejak kecil, Hasyim belajar langsung kepada ayah dan kakeknya, Kiai Utsman. Sejak kecil, diantara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Hasyim kecil sangat giat dan cerdas. Hasilnya, berkat kepandaiannya tersebut, saat ia masih berumur 13 tahun, sang ayah telah memberi kepercayaan kepadanya untuk mengajar di pesantren yang diasuhnya.

Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, pada usia 15 tahun, Hasyim yang masih remaja, berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia memulai petualangannya mendalami ilmu agama di Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, hingga ke Pesantren Trenggilis Semarang. Belum puas dengan ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan belajar agama di Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dan Pesantren Siwalan Sidoarjo. Selama 5 tahun ia menekuni ilmu agama di Pesantren Siwalan Sidoarjo, dibawah asuhan KH. Ya`qub. Dan rupanya, KH. Ya`qub sendiri kesemsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim muda tidak saja mendapat ilmu dari sang guru, ia yang baru berumur 21 tahun, juga dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri KH. Ya`qub.

Tak lama setelah perkawinan beliau dengan Chadidjah, Kiai Hasyim bersama isterinya berangat ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji dan bermukim disana. Sesudah 7 bulan berada di kota suci, istrinya melahirkan putranya yang pertama dan diberi nama Abdullah. Tidak lama kemudian, istrinya wafat di Mekah, dan belum genap 40 hari sepeninggal isterinya, Abdullah, putranya yang masih bayi juga meninggal. Akhirnya, pada tahun berikutnya beliau kembali ke Nusantara.

Pada tahun 1893 M, KH. Hasyim kembali ke Mekah untuk kedua kalinya. Sejak itulah beliau menetap di Mekah selama 7 tahun. Pada tahun 1899 pulang kembali ke tanah air dan mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang pada tahun 1900 M.

KH. Hasyim bukan saja Ulama yang ternama, beliau juga seorang Petani dan pedagang yang sukses, tanahnya puluhan hektar, biasanya, saat beliau sedang istirahat dan tidak mengajar, beliau memeriksa sawah-sawahnya. Kadang kala, beliau juga pergi ke Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertanian. Dari bertani dan berdagang itulah, beliau menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinan beliau dengan Mufiqah, putri Kiai Ilyas, KH. Hasyim dikaruniai 10 putra.

Sewaktu di Mekah, KH. Hasyim berguru kepada seorang ulama yang ahli Hadits, yaitu Syaikh Machfudz At-Tarmasy. Dari KH. Machfudz akhirnya beliau mendapat sertifikat Ijazah untuk mengajarkan Kitab Shahih Al-Buhari. Guru beliau yang lainnya juga adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama dan guru besar Asal Nusantara yang berhasil dan terkenal di Mekah. Syaikh Ahmad Khatib juga menjadi salah seorang Imam besar di Masjidil Haram untuk penganut Mazhab Syafi`i. Kepada dua guru besar itu pulalah KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah berguru. Jadi, antara KH. M. Hasyim Asy`ari dan KH. Ahmad Dahlan adalah tunggal guru.

Ketika KH. Hasyim belajar di Mekah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana tercatat dalam sejarah, buah pikiran Muhammad Abduh sangat mempengaruhi proses perjalanan umat Islam selanjutnya, yang secara tidak langsung pemikiran Muhammad Abduh waktu itu juga telah membuka babak baru dalam sejarah Islam di Nusantara. Ide-ide reformasi Islam yang digagas oleh Muhammad Abduh yang dilancarkannya dari Mesir telah menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mekah. Pada masa itu banyak murid Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yang tertarik dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Syaikh AhmadK hatib sendiri seorang tokoh yang kontroversial, di satu pihak ia tidak menyetujui buah pikiran Muhammad Abduh yang menganjurkan Umat Islam melepaskan diri dari anutan-anutan Mazhab yang empat, dilain pihak ia menyetujui gerakan untuk melenyapkan segala bentuk praktek Tarekat.

Dari Mekah, banyak murid-murid Syaikh Ahmad Khatib yang tertarik dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, mereka pergi ke Mesir untuk melanjutkan pelajaran di Universitas Al-Azhar dan universitas-universitas lain di Mesir.

Diantara murid dari Syaikh Ahmad Khatib yang terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh adalah KH. Ahmad Dahlan, yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Namun tidak demikian dengan KH. Hasyim, beliau sebenarnya juga menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk menyemarakkan Islam kembali, tetapi beliau menolak pemikiran Muhammad Abduh supaya umat Islam melepaskan diri dari keterikatan Mazhab. Beliau berkeyakinan, adalah tidak mungin untuk memahami maksud yang sebenarnya, yang terkandung dalam ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Hadits tanpa mempelajari dan merujuk pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem Mazhab. Dalam hal Tarekat, KH. Hasyim tidak menganggap bahwa segala bentuk praktek keagamaan itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya beliau berpesan agar Umat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan Tarekat.

Dan memang, dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili oleh kalangan Pesantren, atau sering disebut kelompok tradisional, dengan kelompok yang tidak bermazhab, yangdi wakili oleh Muhammadiyah atau sering disebut kelompok Modernis, memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat kongres Islam Ke-IV yang diselenggarakan di Bandung, kongres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok umat Islam untuk dibawa ke kongres Umat Islam di Mekah.

Karena aspirasi dari kelompok tradisional tidak tertampung, maka kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH. Abdul Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu KH. Hasyim Asy`ari, komite inilah yang pada tanggal 31 Februari 1926 menjelma menjadi Nahdatul Ulama (NU), yang artinya Kebangitan Ulama.

Pengaruh KH. Muhammad Hasyim Asy`ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU tersebut bersama teman-temannya. Terbukti dengan berbagai dukungan dari Ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk menentukan anggaran dasarnya, para Kiai meminta bantuan Mas Sugeng, seorang Sekertaris Mahkamah Tinggi, sedangkan KH. Ridlwan, Surabaya, yang dianggap mempunyai darah seniman, kebagian membuat lambang NU. Bahkan, para Ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini NU pun berkembang semakin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Nusantara kususnya di Jawa.

Nahdatul Ulama didirikan, antara lain memang untuk mempertahankan faham bermazhab yang ketika itu tengah mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti Mazhab. Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya, KH. Hasyim Asy`ari, turut membakar semangat para pemuda, supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan.

KH.Muhammad Hasyim Asy`ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 Masehi, diusianya yang Ke-72 tahun.

Atas jasa-jasa beliau mengobarkan semangat para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, dan jasa-jasa beliau dalam pembaharuan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa, pemerintah Republik Indonesia mengangkat beliau sebagai Pahlawan Nasional.

* Diolah dari berbagai sumber.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar