Minggu, 23 April 2017

Hari Buku Dunia: Refleksi Budaya Baca Masyarakat


Pada 23 April di setiap tahunnya, diperingati sebagai Hari Buku Dunia (World Book Day). Pada dasarnya, bagi setiap orang yang bisa baca-tulis, aktivitas membaca telah mereka lakukan di sepanjang waktu, baik secara sadar maupun tanpa sadar. Kita melihat simbol-simbol atau membaca rambu-rambu di jalan-jalan raya, membaca iklan-iklan pada papan reklame, menu makanan di rumah makan, katalog belanja, label produk di toko-toko, serta lain sebagainya, itu semua merupakan wujud dari aktivitas membaca. 

Aktivitas membaca tersebut cenderung dangkal dan dalam jangka waktu yang singkat. Namun ada saatnya kita perlu melakukan aktivitas membaca dengan intensitas dan dalam jangka waktu yang cukup lama, serta dengan perhatian dan pemikiran yang cukup mendalam, seperti mencermati artikel dalam sebuah makalah, mengkaji suatu materi dalam sebuah jurnal, atau membaca sebuah buku. Kebiasaan masyarakat dalam melakukan aktivitas membaca secara mendalam inilah yang kita sebut sebagai budaya baca.

Jika kita perhatikan dengan seksama, budaya atau minat baca masyarakat Indonesia dapat kita katakan masih kalah dari budaya atau minat baca masyarakat di negara lain. Kita ambil contoh Jepang, misalnya. Terdapat sebuah data yang mengatakan bahwa setiap orang di negara tersebut rata-rata membaca 21 buku per tahun. Sementara rata-rata masyarakat kita hanya membaca 7 buku per orang per tahun.

Meski akses informasi dan pengetahuan sudah terbuka lebar untuk berbagai kalangan, perpustakaan umum tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan sudah ada perpustakaan berjalan atau perpustakaan keliling, toko buku mudah ditemui dimana-mana, nyatanya, membaca belum menjadi aktifitas yang menarik bagi masyarakat kita. Aktivitas membaca belum juga menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia, apalagi bagi masyarakat di daerah.

Tahun 2011, United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) melakukan sebuah penelitian mengenai literasi di Indonesia dan menyebutkan bahwa dari 1000 orang Indonesia, hanya satu yang memiliki minat yang baik dalam hal membaca buku (harian.analisadaily.com, 23 April 2016). Tahun 2016, Central Connecticut State University juga merilis hasil pemeringkatan literasi dunia yang menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara (Jawa Pos, Rabu, 19 April 2017).

Hal-hal tersebut cukup memberi gambaran kepada kita bahwa masyarakat Indonesia belum cukup “akrab” dengan aktifitas membaca, kususnya membaca buku. Hal tersebut barangkali menjadi salah satu sebab mengapa masyarakat kita masih kalah tertinggal dengan masyarakat di negara lain. Selain karena minat baca yang memang masih rendah, hal tersebut juga disebabkan oleh akses atau fasilitas yang kurang memadai untuk masyarakat untuk mengakses buku-buku ataupun bahan bacaan lain. Terlebih bagi masyarakat daerah.

Hal tersebut bukan tanpa upaya dari pihak-pihak terkait. Kita saksikan, pemeritah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran literasi masyarakat. Misalnya dengan membuka akses literasi dan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat dengan membangun perpustakaan-perpustakaan umum di berbagai tempat. Meskipun perpustakaan-perpustakaan yang dibangun tersebut baru menjangkau warga masyarakat di perkotaan dan belum menyentuh masyarakat daerah.

Untuk kalangan akademis di peguruan tinggi, upaya meningkatkan aktivitas literatif dilakukan salah satunya dengan menjalin kerjasama antar perpustakaan perguruan tinggi negri dengan membentuk Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi Negri atau yang biasa kita kenal dengan singkatan FKP2TN.

Hingga saat ini, akses informasi, pengetahuan, serta akses literasi baru menjangkau kalangan-kalangan tertentu saja, diantaranya misalnya kalangan masyarakat menengah-atas perkotaan serta kalangan-kalangan tertentu dari daerah yang notabene sejak semula sebenarnya telah sadar akan literasi serta aktivitas membaca. Sementara masyarakat bawah perkotaan serta masyarakat daerah, masih sangat terbatas dalam menjangkau informasi, pengetahuan, serta akses literasi. Selain karena minat baca yang memang masih rendah, hal tersebut juga disebabkan oleh fasilitas yang kurang merata bagi masyarakat sehingga masyarakat masih terkendala dalam mengakses buku-buku ataupun bahan bacaan lain. Terlebih bagi masyarakat daerah.

Dalam kehidupan masyarakat daerah, aktivitas membaca hampir selalu diidentikkan dengan kegiatan pendidikan formal. Mereka menganggap aktivitas membaca hanya diperuntukkan bagi mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah formal saja sehingga bagi mereka yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan formal, aktivitas membaca sama sekali tidak mereka lakukan. Hal tersebut juga berlaku bagi mereka yang telah bersekolah namun tidak berkesempatan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, maka aktivitas membaca mereka pun akan terhenti.

Hal tersebut dapat terjadi pada masyarakat daerah karena hampir tidak ada buku-buku atau literasi dapat mereka jangkau selain bagi mereka yang bersekolah. Tidak ada perpustakaan umum dapat mereka kunjungi untuk membaca buku-buku selain perpustakaan-pepustakaan sekolah yang hanya diperuntukkan bagi siswa-siswi masing-masing sekolah yang bersangkutan. Tidak ada toko buku tempat mereka membeli buku-buku. Kalaupun ada satu atau dua toko buku di daerah tertentu yang dapat mereka jagkau, mereka akan berfikir berulangkali untuk membeli buku-buku yang harganya tidak murah bagi mereka, sementara urusan perut lebih mendesak untuk mereka penuhi daripada untuk pemenuhan bacaan bagi mereka.

Ketidakterjangkauan buku bacaan, ketiadaan perpustakaan umum, serta urgenitas kebutuhan masyarakat daerah akan akses informasi dan literasi sudah selayaknya menggugah dan mendorong kita semua untuk memulai suatu tindakan menuju pemecahan persoalan tersebut. Tidak ada salahnya bagi kita untuk memulai menularkan kegemaran kita membaca buku serta turut mengkampanyekan gemar membaca untuk orang lain disekitar kita, itu akan menjadi wujud nyata kita dalam memperingati Hari Buku.



Baca artikel lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar