Senin, 10 November 2014

Geger Pungkasan.

Gambar Ilustrasi.
Adalah sebuah kisah sejarah yang hampir terlupakan dan hampir tak terungkap. Sebuah kisah dari sebuah desa di lereng selatan Gunung Sumbing, Jawa Tengah.

Gimul Muhtadi, adalah seorang petani yang juga sebagai pelaku sejarah yang lahir pada kisaran tahun 1940-an dan kini berusia kurang lebih 75 tahun. Beliau lahir dan tinggal di sebuah desa di sisi selatan lereng Gunung Sumbing, Jawa Tengah. 

Beliau mengatakan, tidak mengingat momen proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh presiden pertama Negara Republik Indonesia Ir. Soekarno pada tahun 1945, namun beliau mengingat betul beberapa peristiwa sejarah dan tragedi-tragedi yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan. Mulai dari penyerangan kembali militer Belanda di Indonesia setelah masa proklamasi, wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman, hingga terjadinya peristiwa dan tragedi G30S/PKI yang beliau katakan sebagai tragedi yang sangat mengerikan dan sangat mencekam.

Beliau ingat betul bahwa setelah kemerdekaan masih terjadi peperangan (pertempuran). Dan pertempuran yang paling beliau ingat adalah sebuah peristiwa yang beliau sebut sebagai Geger Pungkasan (Bahasa Jawa, yang artinya: huru-hara/perang terakhir). Yaitu pertempuran terakhir yang terjadi disekitar wilayah Kabupaten Wonosobo, kususnya di sekitar Desa Krawatan, sebuah desa di selatan lereng Gunung Sumbing, Jawa Tengah, dimana beliau tinggal.

Ketika peristiwa yang beliau sebut Geger Pungkasan tersebut berlangsung, beliau kurang lebih berusia 7 atau 8 tahun dan telah yatim. Beliau anak paling kecil diantara saudara-saudara beliau, sehingga yang beliau bisa lakukan saat itu hanya menangis ketakutan sambil digendong dan dipaksa lari menuju tempat pengungsian dan tempat persembunyian oleh kakak tertua beliau yang juga panik dan ketakutan bersama masyarakat warga Desa Krawatan yang lain saat itu.

Beliau mengisahkan, saat itu pesawat tempur musuh berlalu-lalang di langit Desa Krawatan dan sekitarnya, di kejauhan tampak pesawat-pesawat itu menjatuhkan dan melontarkan bom dari ketinggian, ledakan berdentuman dan asap hitam membumbung tinggi terlihat di kejauhan. Bahkan beliau masih ingat, beberapa kali beliau dan masyarakat warga desa yang lain melihat beberapa pesawat musuh yang tertembak jatuh, menabrak dan kemudian meledak diatas ketinggian lereng Gunung Sumbing. Namun, Alhamdulillah, beruntung tak satupun bom ataupun pesawat musuh jatuh dan meledak di bumi Desa Krawatan.

Beliau tidak ingat tanggal dan tahun berapa tepatnya peristiwa itu berlangsung. Namun, jika dilihat dari tahun beliau lahir, dan usia beliau saat peristiwa itu berlangsung, juga ditinjau dari letak wilayah Kabupaten Wonosobo yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari letak wilayah ibukota negara saat itu, yaitu Jogjakarta, kemungkinan terbesar adalah bahwa peristiwa tersebut adalah merupakan rangkaian dari peristiwa Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II yang terjadi pada Juli 1947 sampai dengan Desember 1948.

Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II adalah upaya pendudukan kembali oleh militer Belanda di Jawa dan Sumatra untuk merebut dan menguasai kembali wilayah Negara Republik Indonesia setelah Indonesia merdeka dari tangan penjajah Jepang. 

Peristiwa penyerangan atau pertempuran yang melibatkan militer Belanda dan pasukan bersenjata Republik Indonesia dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman tersebut berpusat di Jogjakarta yang saat itu masih menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar