Jumat, 21 Agustus 2015

Kisah Imam Syafi'i dan Betis Seorang Wanita.

Ilustrasi
Suatu hari, Imam Syafi'i sedang belajar dan menghafal sejumlah hadis di hadapan gurunya, Imam Malik. Meski matahari bersinar cukup terik, namun angin berhembus cukup kencang sehingga menimbulkan suasana sejuk di dalam ruangan. Udara sejuk menyelusup ke dalam ruangan mereka berada melalui kisi-kisi jendela. Sehingga kesejukannya menghempas wajah-wajah mereka yang menempati ruangan itu. 

Hafalan Imam Syafi'i sangat luar biasa. Sesekali Imam Malik tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai isyarat ia mengiyakan hafalan Imam Syafi'i. Setelah selesai, Imam Malik memberikan komentar. "Bagus!", kata Imam Malik.

"Alhamdu lillah.", kata Imam Syafi'i.

"Aku melihat Allah Ta'aalaa telah menyinari hatimu", kata Imam Malik, "Oleh karena itu janganlah engkau padamkan dengan kemaksiyatan."

Suatu hari Imam Syafi'i sedang berjalan di salah satu pojok kota. Angin berhembus lumayan kencang. Lelaki yang hafidz Al-Qur'an sejak usia delapan tahun itu terlihat tenang. Beberapa penduduk kota pun turut beraktivitas, beberapa wanita juga berjalan di depan dan di sekelilingnya. Angin kembali berhembus dan kembali berhembus. Imam Syafi'i melanjutkan perjalanannya dengan begitu santai namun dengan langkah penuh kepastian, sambil sesekali membenahi jubahnya yang tersingkap karena hembusan angin yang begitu kuat. 

Wanita-wanita penduduk kota itu terus berlalu lalang di sekitar perjalanan Imam Syafi'i. Dan tiba-tiba, ketika Imam Syafi'i meluruskan pandangannya dan menatap kearah depan, dilihatnya pakaian salah satu wanita di depannya tersingkap karena hembusan angin sehingga terlihat betis wanita itu oleh Imam Syafi'i. Wanita itu berusaha membenahi kembali pakaiannya. Menyadari kejadian itu tanpa sengaja disaksikan oleh Imam Syafi'i yang kebetulan berada dibelakangnya, rona wajah wanita itu tampak memerah diliputi rasa malu dan rasa bersalah. Imam Syafi'i pun tertegun. Dari bibirnya tiada lepas kalimat istighfar diucapkan oleh Imam Syafi'i.

Imam Syafi'i melanjutkan perjalanannya, ia mempercepat langakhnya, sambil terus melafalkan kalimah istighfar. Langkahnya semakin cepat. Terburu-buru. Imam Syafi'i terus berjalan, segera menuju masjid. Seseorang yang melihat keanehan dalam diri Imam Syafi'i bertanya kenapa beliau tergesa-gesa ke masjid. Imam Syafi'i menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya.

"Saya khawatir karena kemaksiyatan yang saya lakukan, banyak hafalan saya akan hilang", jawab Imam Syafi'i dengan penuh kekhawatiran dan penyesalan. Dan konon, setelah kejadian itu, Imam Syafi'i benar-benar kehilangan satu juz hafalan Al-Qur'annya. Masya Allah...


~ ~ ~ o O o ~ ~ ~


Apa hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari kisah ini? Bahwa kemaksiyatan dapat menjadi penyebab tertutupnya hati seseorang untuk menerima suatu ilmu. Kemaksiyatan akan menumpulkan jiwa sekaligus menutupi kejernihannya. Mudah lupa adalah contoh nyata yang dapat ditimbulkan oleh bertumpuknya kemaksiyatan. 

Saking hati-hatinya, Imam Syafi'i bahkan harus bertaubat hanya karena penglihatan yang tidak disengajanya. Mari kita bandingkan dengan kebiasaan dan karakter kita pada generasi kita sekarang ini. Generasi dimana kemaksiyatan demi kemaksiyatan telah membudaya, bahkan kita tak sadar bahwa kita sedang melakukan kemaksiyatan yang cukup fatal. Fatal, tanpa sadar. Namun, berapa kali kita melafalkan kalimah istighfar dalam sehari? Berapa kali kita memohon ampunan kepada Allah Swt. dalam sehari? Berapa kali kita bertaubat dalam satu hari? Sangat jauh berbeda dengan karakter masyarakat generasi salaf, jaman pada kisah diatas, bukan?

Kisah diatas bolehlah menjadi bahan renungan bagi kita yang hidup pada generasi dimana kemaksiyatan telah membudaya ini. Kisah diatas bolehlah menjadi bahan renungan untuk kemudian kita me-review aktivitas-aktivitas dan perilaku-perilaku kita sehari-hari. Kisah diatas bolehlah menjadi bahan renungan untuk kemudian menjadi penggerak diri untuk kita berintrospeksi diri yang kemudian berlanjut pada upaya untuk perbaikan diri. 

Hanya ketika setiap masing-masing pribadi telah menjadi pribadi-pribadi yang baik akan lahir suatu masyarakat yag baik, budaya yang baik. Dan lahirlah suatu generasi yang baik, suatu generasi dengan karakter yang baik. Insya Allah...







8 komentar: