Rabu, 13 Mei 2015

Sekilas Tentang Gunung Sumbing.

Gunung Sumbing.
Gunung Sumbing terletak di perbatasan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo, Temanggung dan Kabupaten Magelang - Jawa Tengah. Gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet (3.432 m.dpl),  dan gunung tertinggi ketiga di pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 m.dpl) di Jawa Timur dan Gunung Slamet. 

Gunung Sumbing bersebelahan dan berhadapan langsung dengan Gunung Sindoro dan dikenal sebagai gunung kembar. Gunung Sumbing bertipe geologi stratovolcano (gunung berapi bertipe kerucut), dengan ketinggian 3.371 m.dpl. Kondisi puncaknya terdiri atas tebing batu cadas yang menjulang tinggi dan banyak dijumpai kawah-kawah kecil yang masih aktiv dan banyak mengeluarkan asap belerang. Puncak Gunung Sumbing terdiri atas dua puncak, yaitu Puncak Buntu, dengan ketinggian 3.362 m.dpl dan Puncak Kawah, dengan ketinggian 3.371 m.dpl. Meskipun tergolong sebagai gunung berapi namun aktivitas vulkanis Gunung Sumbing saat ini tidak begitu aktiv. Dalam sebuah data penelitian, Gunung Sumbing diperkirakan meletus terakhir kali pada tahun 1730 M.

Pada bulan Agustus – September, Gunung Sumbing biasa ramai di kunjungi pendaki. Untuk mencapai puncak Gunung Sumbing, biasanya pendaki menggunakan jalur utama, yaitu lewat Kampung Butuh, Desa Garung, Wonosobo. Desa Garung merupakan desa yang terletak di kaki sebelah kanan (barat laut) Gunung Sumbing atau sebelah kiri (tenggara) lereng Gunung Sindoro. Desa Garung (1.543 m.dpl) merupakan desa terakhir menuju ke puncak Gunung Sumbing, dapat dengan mudah di capai karena letaknya yang dilalui jalur Bus / minibus dari arah Magelang menuju ke Wonosobo atau sebaliknya. Menurut data buku pendakian di Kepala Desa Garung, pendaki setiap tahun dapat mencapai 5.000 orang, rata-rata pendaki adalah dari kalangan mahasiswa, komunitas pecinta alam, dan peneliti.

Pendakian juga sangat ramai dilakukan oleh warga sekitar lereng Gunung Sumbing, biasanya warga ramai-ramai mendaki gunung Sumbing pada malam hari setiap tanggal 1 Suro ( 1 Muharram ) dan setiap tanggal 21 Ramadhan, ini menjadi kebiasaan bagi masyarakat sekitar lereng Gunung Sumbing, pendakian dilakukan malam hari dimaksudkan untuk menghindari panasnya terik matahari, walaupun malam hari di lereng Gunung Sumbing ini sangat-sangat dingin. Malam hari juga waktu yang paling tepat untuk pendakian karena sesampainya dipuncak pada pagi hari, kita dapat menikmati keindahan terbitnya matahari pagi (sunrise) yang berpadu apik dengan pemandangan alam yang hijau menghampar luas, dengan balutan kabut tipis menuruni lereng Gunung ini. 

Masyarakat sekitar memanfaatkan pendakian ini untuk berbagai maksud, diantaranya ada yang hanya untuk berwisata menikmati keindahan alamnya saja, ada juga yang memanfaatkannya untuk berwisata rohani, ataupun berbagai tujuan lain yang menyangkut kepercayaan dan kearifan lokal seputar masyarakat lereng Gunung ini, misalnya yaitu ziarah ke makam Ki-Makukuh / Kiai Makukuhan, konon beliau adalah tokoh yang berjasa dibalik keberadaan masyarakat sekitar lereng gunung Sumbing di masa lalu. Konon mendaki di tgl 1 Suro dan tgl 21 Ramadhan ini, masyarakat percaya, akan merasakan suasana yang berbeda di sepanjang jalur pendakian maupun di puncak Gunung ini. 

Untuk jalur pendakiannya, setiap daerah memiliki jalur masing-masing, masyarakat biasa memanfaatkan jalur yang paling dekat yang mempunyai medan tidak begitu berat yang memungkinkan untuk melakukan pendakian. 

Untuk Desa Krawatan - Pulosaren sendiri (daerah admin, 1.400 m.dpl), setiap hari Ahad dan hari libur, biasanya jalur seringkali digunakan oleh komunitas-komunitas atau para petualang motor cros / motor trail dari berbagai daerah, namun jalur desa Krawatan ini tidak dapat digunakan sebagai pendakian ke puncak secara langsung karena jalur ini mempunyai medan yang relatif berat dan memang belum ada fasilatas-fasilitas yang memadai untuk mendukung kegiatan pendakian. Namun sayang sekali akibat belum adanya pengawasan dan kontrol serta pengelolaan dari pihak-pihak terkait di daerah ini, sehingga aktivitas yang terlalu sering dan terlalu banyak dari komunitas-komunitas motor trail ini, aktivitas mereka justru sangat mengkhawatirkan akan merusak dan mengancam kelangsungan ekosistem alam lereng gunung ini.

Gn. Sindoro dilihat dari Gn. Sumbing.
Lereng Gunung Sumbing merupakan salah satu kawasan yang rawan tanah longsor karena terlalu luas dieksploitasi lahannya untuk ladang oleh masyaraat sekitarnya. Menurut ahli konservasi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, lereng Gunung Sumbing mempunyai tingkat erosi yang cukup tinggi diantara gunung-gunung yang berada di sekitarnya. Bila kita mendaki gunung ini, sejauh mata memandang akan terlihat hampir separuh lereng gunung sudah merupakan daerah perladangan.

  • Diolah dari berbagai sumber. 
  • Sumber foto; Google.co.id.



5 komentar: