"Hamas adalah ruh baru umat abad ini." (Ustadz Aang Suandi, Direktur World Assembly of Muslim Youth (WAMY) Indonesia Office)
Belakangan ini banyak pertanyaan yang muncul di khalayak ramai seputar Hamas, sebuah akronim dari “Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyah”. Belum lama ini beredar sebuah pernyataan seorang tokoh dan budayawan muslim di Indonesia yang menyatakan bahwa Hamas adalah buatan Israel, atau sebuah konspirasi buatan Amerika yang ujung-ujungnya adalah permainan belaka. Apakah benar begitu?
Alhamdulillah, syukurnya, sekarang masyarakat
Indonesia sudah makin dewasa menyikapi segala informasi media yang ada.
Dulu, seperti ungkap Ustadz Adian Husaini, media-media negeri ini kerap
menamakan kelompok pejuang ini dengan sebutan “ekstremis” atau “kaum
fundamentalis”. Hari ini telah berbeda, bahkan salah satu stasiun
televisi mengungkap dengan jujur dan meliput keadaan Palestina secara
berkala, dengan mengirimkan salah satu reporter terbaiknya ke Gaza, dan
menggelari Hamas sebagai pejuang Palestina penentang tirani. Hebat!
Tapi
tidak ada salahnya kita mengenal lebih jauh siapa itu Hamas,
hitung-hitung sebagai respons pernyataan tokoh yang berpendapat
bahwa Hamas adalah mainan Israel. Agar kelak kita tak sekadar tahu nama
namun tak tahu dari mana asal muasal informasinya. Juga mestinya
beginilah kita, sebagai muslim, tidak selayaknya kita hanya memahami
kulit tanpa memahami isi dan kandungan sebuah berita, agar kita makin
bijaksana menilai dunia.
Hamas Lahir dari Nurani Palestina
Hamas,
seperti di awal tadi, adalah akronim dari “Harakah Al-Muqawamah
Al-Islamiyah” yang dalam bahasa Indonesia bisa kita artikan sebagai
“Gerakan Perjuangan Islam”. Gerakan ini lahir melalui proses yang sangat
panjang, bertahap, dan berliku. Itulah mengapa para anggota Hamas
benar-benar memahami keadaan Palestina beserta apa yang tersimpan dalam
hati nurani rakyatnya, apa itu? Kembali ke pangkuan Islam, hanya Islam
jawabannya. Bukan yang lain.
Jauh sebelum bernama Hamas, jika kita
menelusuri akar sejarahnya, kita akan menemukan sebuah nama yang begitu
membumi di dunia Islam, yaitu Imam Hasan Al-Banna, seorang pejuang,
mujahid, sekaligus pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Ketika Ikhwanul Muslimin berdiri, kondisi Palestina tidaklah sedang dalam keadaan damai. Zionis Israel mulai berdatangan dari seluruh penjuru dan membangun pemukiman baru dengan cara mengusir penduduk asli Palestina dai negerinya sendiri. Ketika Palestina jatuh ke tangan Zionis, Hasan Al-Banna mengutus saudaranya, Abdurrahman Al-Banna dan Muhammad As’ad untuk berkunjung ke Palestina dan merumuskan kemungkinan apa saja yang bisa dilakukan muslimin Mesir untuk membantu Palestina yang tertindas, saat itu tahun 1935.
Kemudian tahun 1936, Hasan
Al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya mendirikan cabang di Haifa, salah
satu kota penting di Palestina, lalu berlanjut di Gaza. Dari situlah
kemudian menyebar cabang-cabang Ikhwanul Muslimin yang membangkitkan
semangat umat Islam di Palestina. Pada tahun 1948 ketika Israel resmi
menjadi negeri penjajah di Palestina, Ikhwanul Muslimin juga telah resmi mempunyai 25
cabang di Palestina, setiap cabangnya terdiri dari 12 sampai 20 ribu
massa.
Ikhwanul Muslimin dan Perang Arab-Israel
Ketika
perang Arab-Israel tahun 1948 meletus, Ikhwanul Muslimin tidak tinggal
diam. Di bawah instruksi Hasan Al-Banna, 10 ribu sukarelawan Ikhwanul
Muslimin berangkat menyambut seruan jihad melawan kekejaman Zionis
Israel, membersamai pasukan Mesir kala itu. Tidak hanya di Mesir, Ikhwan
Iraq, Suriah, dan Yordania pun menggerakkan massanya untuk menghadapi
Zionis Israel yang di era itu telah mendapat suplai senjata tercanggih
dari Amerika dan Inggris.
Naasnya, situasi di Mesir kala itu
sangat tidak menguntungkan bagi Ikhwanul Muslimin. Ketulusan mereka
berjuang dianggap sebagai upaya makar pada pemerintah. Akhirnya, perdana
menteri Mesir, Muhammad Fahmi Narqasyi berupaya membekukan gerakan
Ikhwanul Muslimin, mengambil semua aset-asetnya, memenjarakan
tokoh-tokohnya, dan menyita semua kekayaan organisasinya. Pada bulan
Desember 1948, Narqasyi diculik penjahat misterius dan dibunuh, dan
orang-orang Ikhwan dituduh sebagai pelakunya. Sehingga “ketika jenazah
Naqrasyi diusung, para pendukungnya berteriak, ‘kepala Narqasyi harus
dibayar dengan kepala Hasan Al-Banna!’”, tulis Tiar Anwar Bahtiar dalam
bukunya ‘Hamas, Kenapa Dibenci Israel?’.
Fitnah itu berujung pada
syahidnya Hasan Al-Banna pada tanggal 22 Februari 1949, beliau syahid
dibunuh oleh penjahat yang hingga kini tak diketahui rimbanya.
Namun
walaupun Ikhwanul Muslimin di Mesir dibekukan, tidak sama halnya dengan
di Palestina. Para aktivis dakwah di sana mengganti nama mereka menjadi
“Jam’iyyah At-Tauhid”. Melalui wadah baru ini, aktivis Ikhwan di
Palestina melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan mengembalikan
semangat rakyat Palestina pada ruh Islam, bukan lagi bersembunyi di
bawah ketakutan dan ketidakpastian. Program-program Jam’iyyah At-Tauhid
bukan hanya perang saja. Lebih utama dari itu, mereka melakukan gerakan
dakwah, ekonomi, sekolah, budaya dan segala agenda kemasyarakatan yang
membumi.
Gerakan Sosial dan Dakwah Oleh Kader Terbaik
Pada
tahun 1970, setelah melalui masa yang panjang dalam perjuangan
membangun generasi islami di Palestina sekaligus membendung serangan
Zionis Israel, Ikhwanul Muslimin di Palestina terlihat mulai banyak
kader-kader mudanya yang belajar ke universitas-universitas terkemuka.
Mereka, selain memiliki semangat keislaman yang tangguh, juga dilengkapi
dengan keahlian-keahlian yang tepat untuk membangun Palestina secara
mandiri.
Di antaranya, ada yang menjadi dokter, insinyur, ilmuwan
berbagai disiplin ilmu, dan arsitek. Mereka semua merantau di
negeri-negeri yang jauh, lalu kembali ke Gaza dan mendirikan Universitas
Islam Gaza pada tahun 1978, sebuah pencapaian ilmiah yang pesat di
masa-masa keras penjajahan Israel.
Era berperang dengan senjata
telah beralih ke mode perjuangan yang baru. Dengan kader-kader cerdas
yang shalih sekaligus profesional, Ikhwanul Muslimin Palestina mulai
melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan besar yang sifatnya membangun
kepedulian sosial, membangun sekolah-sekolah islam, masjid-masjid,
ma’had tempat menghafal Quran dan tak lupa barak pelatihan Militer.
Berawal
dari berkuasanya kader dakwah Palestina di setiap sektor kehidupan
rakyat, maka Ikhwanul Muslimin cabang Palestina akhirnya merancang
sebuah gerakan multitalenta, yang bergerak di semua aspek kehidupan umat
di Palestina, mulai dari belajar hingga bernegara, mulai dari sosial
sampai sayap militer.
Syaikh Ahmad Yasin, Pelita Baru Palestina
Gaza,
semenanjung itu dalam keadaan porak poranda. Bukan sekadar hancur
bangunan dan segala yang berdiri di di atasnya, namun jauh lebih perih
dari itu adalah kehancuran akhlaq masyarakat Palestina. Setelah melalui
berbagai percobaan gaya perjuangan, setelah berbagai cara melawan mereka
lakukan, harapan mereka bukannya menjadi kenyataan malah menjadi pupus.
Membawa
idealisme kebangsaan, mereka dikhianati. Membawa idealisme
nasionalisme, mereka semakin tak diberi tempat. Membawa pemahaman
persatuan Arab, mereka malah kehilangan Al-Aqsha. Di saat-saat
perjuangan itu seperti hanya bermimpi dan tak pernah tertuai hasilnya,
dari ujung Gaza terbitlah harapan baru. Seorang pejuang sejati yang
lahir dari rahim wanita pejuang juga, dari tanah pejuang, dengan membawa
kobaran api perjuangan.
Ia seorang pemuda sederhana, dididik
kesederhanaan dan besar dalam pahit getir perjuangan. Namanya Ahmad
Yasin. Sebuah kecelakaan membuat beliau lumpuh kedua kakinya dan
kehilangan penglihatannya yang sehat. Namun Allah menakdirkan sebuah
gerakan besar akan datang dari semangat dan perjuangannya. Syaikh Ahmad
Yasin, pelita baru Palestina, beliaulah yang merintis berdirinya Hamas,
18 November 1987.
Lewat orasi dan ceramahnya, Syaikh Ahmad Yasin
mengumandangkan gerakan kembali kepada Al-Quran ke seluruh lapisan
masyarakat Palestina khususnya di Gaza. Pantai-pantai Gaza yang tadinya
diisi dengan wisatawan yang bermuat maksiat berubah menjadi tempat
publik yang dihiasi dengan semangat islami. Rumah-rumah judi yang
tadinya marak, perlahan tapi pasti berbenah dan berubah menjadi
sekolah-sekolah tahfizh yang melahirkan 3000 penghafal Qur’an setiap
tahunnya. Ahmad Yasin, dengan Al-Quran, beliau mengubah Gaza jadi
sepotong Surga.
Hamas yang beliau pimpin bekerja dengan arahan
beliau, siang dan malam membangun kembali Gaza dan membina generasi muda
di sana dengan pendidikan yang intensif. Hamas berkarya dalam bidang
pendidikan, mendirikan sekolah-sekolah yang puncaknya adalah
terbangunnya Universitas Islam Gaza, yang seluruh dosennya adalah
putra-putri Gaza yang hebat.
Dari segi sosial, Syaikh Ahmad Yasin
mengumandangkan gerakan memboikot produk Israel dan meningkatkan
kemandirian masyarakat dengan membangun koperasi dan badan usaha sendiri
yang bisa mencukupi kebutuhan masyarakat sekaligus berswasembada. Di
era beliau hingga kini Gaza merupakan eksportir Strawberi yang cukup
menghasilkan keuntungan yang besar.
Intifadhah, Kebangkitan Palestina, dan Kemenangan Hamas
Perlakuan
Israel semakin menjadi-jadi. Memasuki tahun 1980 mereka makin
menancapkan pengaruhnya di tanah Palestina. Membantai, membunuh,
menghancurkan bangunan dan memenjarakan anak-anak menjadi prinsip hidup
mereka. Klimaksnya adalah ketika seorang supir truk Yahudi membawa
truknya dengan serampangan, lalu dengan tiba-tiba ia menyengaja membunuh
anak Palestina dengan cara menabraknya.
Setelah menabraknya, ia
malah tak mau bertanggung jawab dan terus saja melaju. Peristiwa ini
sontak membuat marah rakyat Palestina sehingga meletuslah gerakan
perlawanan Intifadhah. Di sini terletak sebuah ciri khas khusus, yaitu
Intifadhah ini dilakukan oleh anak-anak kecil dan remaja yang melontar
batu pada tank dan senjata canggih Zionis, seperti Nabi Daud melawan
Jalut, seperti itulah gambaran gerakan perlawanan ini. Terilhami dari
Al-Quran, masyarakat Palestina melawan ketidakadilan, kemudian
menginspirasi dunia.
Hamas memenangkan hati rakyat, seiring dengan
perlawanan yang terus dilakukan masyarakat Palestina atas inspirasi
dari Syaikh Ahmad Yasin, dan segala karya Hamas yang meningkatkan
kesadaran pendidikan masyarakat Gaza, membuat Hamas menjadi pemenang
pemilu di Palestina dengan total suara sebesar 60%, mengalahkan partai
Fatah yang berhaluan nasionalisme kebangsaan.
Setelah Syaikh Ahmad
Yasin syahid oleh tembakan helikopter Apache Israel, disusul dengan
syahidnya pemimpin Hamas kedua, Dr. Abdul Aziz Ar-Rantissi juga karena
tembakan roket Apache, hari ini Hamas dipimpin oleh seorang Pejuang
bernama Khalid Meshaal, yang membawa Hamas menjadi gerakan yang bukan
lagi sekadar ancaman bagi Israel, tapi telah menjadi saingan paling kuat
Israel dan kekuatan paling berpengaruh untuk menghentikan pengaruh
Israel di Timur Tengah.
Hamas Itu Pejuang, Bukan Teroris
Sudah
mengenal Hamas? Bukan saatnya lagi kita memanggil Hamas dengan sebutan
teroris, itu adalah sebuah tuduhan yang sangat keliru. Justru Hamas
dengan inspirasinya telah melahirkan sebuah bangsa dan generasi baru
yang tidak takut pada kezaliman, berani menerbitkan kebenaran, dan teguh
membela harga diri. Hamas telah mencontohkan pada dunia bagaimana hidup
yang sejati.
Tidak mungkin Israel menciptakan sendiri gerakan
yang akan mengancam keberadaannya, mustahil Yahudi yang membuat gerakan
yang malah menjadi musuh terbesarnya. Hamas lahir dari nurani yang kuat,
semangat yang membara, dan keteguhan yang kokoh.
Itulah mengapa namanya Hamas, yang bermakna “semangat!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar